A Brief Introduction
Sekte wahabiyah di nisbatkan kepada pendirinya yakni Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab Bin Sulaiman An-Najdi. Ia dilahirkan pada tahun 1111 H dan wafat pada tahun 1206 H.
Beliau mempelajari sedikit pengetahuan agama dari beberapa gurunya termasuk pada ayahnya sendiri. Disebutkan bahwa dia menggemari berita dan kisah-kisah orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi, seperti Musailamah Al-Kadzab, Sujah, Aswad Al-Ansi dan Thulaihah al-Asdi.
Sejak masa studinya, telah nampak dari cirinya bahwa ia akan menjadi seseorang yang kontroversial dan melakukan penyimpangan besar.
Kakaknya Ibnu Abdul Wahhab, yakni Syeikh Sulaiman Bin Abdul Wahhab menuturkan sebagai berikut : "'Berapa rukun Islam hai Muhammad bin Abdul Wahhab?' Ia pun menjawab 'Lima'. 'Ya, tetapi engkau menjadikannya enam, dan yang ke enam adalah barang siapa tidak mengikutimu maka ia bukan seorang muslim. Ini adalah rukun Islam ke enam milikmu.'"(ibid)
Kakaknya pun dalam sebuah kitab yang ia tulis sendiri mengkritik ajaran adiknya yang menyimpang, beliau menuturkan sebagai berikut : "Sekarang, orang-orang telah di timpa bala' dengan seorang yang mengaitkan dirinya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, menyimpulkan dari keduanya, dan tidak menghiraukan sesiapa yang menyelisihinya. Siapapun yang menyelisihinya adalah kafir menurutnya. Demikianlah, sementara ia bukan seorang yang menyandang salah satu dari sekian banyak syarat ijtihad....tidak bahkan sepersepuluh syaratnya pun tidak ia miliki. Namun demikian ucapannya laris di kalangan kaum jahil. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un."(Ibid)
Pada tahu 1143 H, Muhammad bin Abdul wahhab menampakkannya ajarannya, akan tetapi ayahnya bersama para masyaikh, yakni guru-guru besar disana berdiri tegak menolaknya. Karena dirasa ajakannya tidak membuahkan hasil, ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H, ia mulai dengan leluasa menyebarkan pemahamannya.
Ia mulai mendakwahkan ajarannya pertama ke masyarakat awam yang lugu dan kurang tahu perkara soal agama, maka dengan mudah ia mendapatkan pengikut setia. Tapi bukan berarti dakwahnya berhasil, banyak juga masyarakat yang menentang ajarannya, dan hampir-hampir ia terbunuh jika ia tidak melarikan diri ke kota Al 'Aniyyah.
Disana ia melakukan pendekatan diri pada Amir kota tersebut, dan menikahi saudari sang Amir tersebut. Merasa di atas angin, ia mulai menyebarkan kembali ajarannya. Namun lagi-lagi masyarakat menolaknya dan mengusirnya dari kota tersebut.
Ia pun pergi meninggalkan kota tersebut dan menuju kota Ad Di'riyyah (sebelah timur kota Nejed), sebuah daerah yang dahulu ditinggali oleh Musailamah Al-Kadzab sang nabi palsu. Dari kota inilah ia menjalin koalisi dengan Amir kota tersebut, yakni Muhammad bin Sa'ud. dan dari kota inilah ia mulai mendapatkan banyak pengikut setia. Untuk lebih meningkatkan koalisi, Muhammad bin Sa'ud pun menikahi putrinya Muhammad bin Abdul Wahhab yang di kemudian hari menjadi ibu dari Abdul Aziz bin Sa'ud.
PERCIKAN NODA MERAH SEJARAH WAHHABISME
Saya tidak akan menyebutnya sebagai sejarah hitam, sebab terkesan gelap, misterius, tak jelas. Saya lebih setuju sebagai percikan noda merah dengan maksud bahwa sejarah jayanya Wahhabisme dan dinasti Sa'ud selalu di lumuri dengan darah. Penaklukan kota Mekah, Thaif, Madinah, Riyyadh, Jeddah dan kota-kota lainnya mereka (koalisi Wahhabi dan Ibnu Sa'ud) anggap sebagai Jihad Fi Sabilillah seperti halnya para sahabat Nabi Muhammad Saw yang menaklukkan Persia, atau seperti Sultan Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel.
Adalah fakta sejarah mengatakan, di masa penyebaran ajaran Wahhabi dan pemancangan kekuasaan dinasti Sa'ud, mereka tidak pernah menyentuh atau memerangi non muslim, baik dari kalangan Nasrani, Yudaisme, Majusi. Justru, mereka menyerang dan melakukan genosida (pembantaian massal sampai habis) terhadap para umat Islam itu sendiri.
Selain menghalalkan darah umat islam itu sendiri, mereka juga menganggap harta benda mereka sebagai Ghanimah (hasil rampasan perang) yang posisinya serta nilainya sama dengan hasil jarahan perang dari non-muslim. Hal ini berangkat dari paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu.
Sejarah mereka yang penuh pertumpahan darah ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb; ‘Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da’watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad bin Hajar Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-‘Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer dari Qatar–, dan diberi kata pengantar. oleh Abdul Aziz bin Baz.
PILAR PEMIKIRAN ALIRAN WAHHABIYAH
Kaum wahhabi membagi aqidah menjadi dua bagian, yakni :
Pertama, yang datang dari Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka mengklaim bahwa bagian ini mereka ambil dari dasar Al-Qur'an dan Sunnah tanpa merujuk kepada ijtihad para mujtahidin dalam memahami maknanya, baik dari kalangan sahabat, tabi'in atau para Imam Mujtahidin lainnya.
Kedua, apa-apa yang tidak ada Nash yang datang tentangnya. Disini mereka mengklaim mengambilnya dari pemahaman Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah.
Akan tetapi dalam kedua perkara ini mereka mengalami kegagalan, terjatuh dalam kontradiksi dan paradoks berpikir dan akhirnya menerjang hal-hal yang terlarang, sebagai contoh :
1) Mereka sangat tekstual
Mereka beku dan terpaku atas makna-makna yang mereka pahami dari lahir sebagian Nash, karenanya mereka menyalahi dasar-dasar, ushul dan ijma'.
Dari sini Syeikh Muhammad Abduh menyifati mereka dengan, "Sangat sempit kesabaran dan kreativitasnya, sesak dadanya dibanding kaum muqallid, mereka berpandangan wajib hukumnya mengambil makna lahiriah yang dipahami dari teks yang datang dan mengikat diri dengannya tanpa memperhatikan apa yang di tetapkan oleh dasar-dasar yang atasnya agama ini ditegakkan."
2) Menyalahi Imam Ahmad.
Pada kenyataannya, mereka telah nyata-nyata menyalahi Imam Ahmad dalam hal pentakfiran sesiapa yang berseteru dengan mereka, sementara itu mereka tidak menemukan pada fatwa-fatwa Imam Ahmad yang dapat dijadikan dasar untuk keyakinan mereka tersebut. Bahkan sebaliknya, perilaku hidup dan fatwa-fatwa Imam Ahmad bertolak belakang dengan mereka. Beliau tidak mengkafirkan Ahlul Kiblat (umat muslim) karena sebab dosa, baik dosa besar atau kecil kecuali sengaja meninggalkan shalat.
Selain itu mereka juga tidak menemukan pada Ibnu Taimiyyah sesuatu yang dapat menjadi bukti kebenaran akidah mereka (tentang pentakfiran), bahkan Ibnu Taimiyyah bertolak belakang dengan mereka.
Ibnu Taimyyah berkata : "Sesiapa yang mencintai teman-teman satu pendapat, memusuhi yang menyalahinya, memecah belah jamaah umat muslim, mengkafirkan dan menuduh fasiq mereka yang menyelisihinya dalam masalah pandangan danranah ijtihad serta menghalalkan memerangi mereka maka ia tergolong sebagai ahli tafarruq dan ikhtilaf (pemecah belah umat dan pengobar perselisihan)."
3) Ziarah kubur.
Akidah wahabiyah dalam masalah hukum menziarahi kuburan meniscayakan harus dikafirkan dan dimusyrikkannya Imam Ahmad bin Hanbal dan siapapun yang menyetujui pendapatnya. Dan penghalalan darah-darah mereka untuk dicucurkan serta harta benda mereka untuk dirampas.
Ibnu Taimiyyah telah menukil bahwa Imam Ahmad bin Hanbal telah menulis satu juz tentang ziarah ke makam Imam Husein alaihi salam di Karbala sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh para penziarah, Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya manusia di zaman Imam Ahmad senantiasa mendatangi makam Husein."
Sementara dalam akidah kaum Wahhabiyah mengadakan perjalanan ke makam-makam dengan tujuan menziarahinya adalah syirik.
Maka dengan dasar akidah tersebut, Imam Ahmad dan umat muslimin yang hidup sezaman atau sebelum dan sesudahnya yang berpendapat bahwa praktik itu mustahab adalah halal darah dan harta benda mereka. Bahkan dapat disimpulkan bahwa seluruh umat muslim itu adalah kafir dan msuryik; tidak terkecuali para sahabat Nabi Saw juga.
lalu atas dasar apa kaum Wahhabiyah itu mengaku sebagai pengikut dan pewaris madzhab Imam Ahmad bin Hanbal?
4) Ber-Tawassul adalah Syirik.
Dalam pandangan Wahhabiyah, memohon syafa'at dari Nabi Muhammad Saw setelah beliau wafat adalah syirik. Dan sesiapa yang mengatakan : "Wahai Rasulullah berilah aku syafa'atmu!" maka ia telah syirik akbaar, terbesar, karena dalam anggapan Wahhabiyah orang tersebut telah menjadikan Rasulullah saw sebagai arca yang sedang disembah selain Allah.
Sedangkan dalam hadits-hadits shahih banyak sahabat dan tabi'in yang melakukan tawassul. Ibnu Taimiyyah pun telah men-shahih-kannya dari banyak jalur periwayatan. Ia meriwayatkan dari Al-Baihaqi, ath-Thabarani, Ibnu Abi ad-Dunya, Ahmad bin Hanbal dan Ibnu as-Sunni. Kendati demikian ia tetap bersikeras pada pendapatnya dan menolak hadits shahih jika dirasa merugikan mereka.
Namun demikian Ibnu Taimiyyah tidak menganggapnya sebagai syirik seperti yang diyakini kaum wahhabiyah, lebih lanjut silahkan anda baca az Ziyarah; Ibnu Taimiyyah,7/101-106.
5) Kafirnya sekelompok sahabat Nabi Muhammad Saw dan mulianya Yazid bin Muawiyah.
Keyakinan wahhabiyah meniscayakan kafirnya mayoritas sahabat Nabi Muhammad Saw yang hidup setelah Nabi saw wafat disebabkan mereka membolehkan memohon syafa'at dari Nabi Saw, membolehkan safar (perjalanan menuju makam suci Nabi Saw), serta menyaksikan sahabat lain atau orang lain melakukannya tetapi tidak menegur atau memvonis kafir dan syirik, dan tidak pula menghalalkan darah dan hartanya.
Ini adalah konsekuensi logis dari akidah mereka itu, dan dengan demikianlah mereka memvonis. Akan tetapi dalam ajakan kepada alirannya, mereka seolah-olah mengagungkan para sahabat Nabi Muhammad Saw demi merayu kaum awam yang lugu.
Kaum Wahhabiyah juga mencerca para sahabat yang hidup sejaman dengan Nabi Saw. Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri sekte ini berkata tentang sahabat Nabi Saw : "Sekelompok sahabat ada yang berjihad bersama Rasulullah, shalat bersamanya, membayar zakat, berpuasa dan haji, namun demikian mereka itu adalah kaum kafir dan jauh dari Islam."
Anehnya, mereka justru mengagungkan Muawiyah dan Yazid. Sementara fakta sejarah mengatakan Muawiyah dan Yazid termasuk orang-orang dzalim.
Dalam tiga tahun masa kekuasaannya, Yazid bin Muawiyah telah melakukan tiga kejahatan terbesar, yakni :
1) Pembantaian keluarga Nabi Saw; Imam Husein alaihi salam beserta 70 orang pengikut setianya di padang Karbala.
2) Melakukan pembantaian di kota suci madinah dan membolehkan pasukannya berbuat apa saja selama tiga hari.
3) Membombardir Ka'bah dengan alasan menekan basis pertahanan Abdullah bin Zubair.
Imam Ahmad pun telah melaknat Yazid, jadi jika benar kaum Wahhabiyah mengaku sebagai pengikut Imam Ahmad bin Hanbal maka sudah seharusnya mereka juga melaknat Yazid! Namun fakta berbicara kaum Wahhabiyah malah tidak henti-hentinya memintakan rahmat Yazid dan memujinya setinggi langit. Sampai-sampai kementrian pendidikan Wazarah al Ma'arif kerajaan Saudi Arabia menerbitkan buku dengan judul Haqaiq 'An Amirul Mu'minin Yazid.
Sumber : Abu Salafy and Others
Tidak ada komentar:
Posting Komentar