Kamis, 15 September 2011

Bambang Suwanda : Ksatria Silat Sunda Yang Dilupakan Negara

Mungkin anda pernah mendengar nama Mande Muda dengan figurnya yang terkenal (Alm) Herman Suwanda. Ya, Melalui tangan dingin Pak Hermanlah nama Silat Tradisional Sunda dikenal dan dimintai masyrakat Amerika dan Eropa pada dekade akhir 1970-an.

Pak Herman dalam menyebarkan Silat di negri para bule menggunakan modal sendiri tanpa bantuan sepeserpun dari pihak pemerintah Indonesia. Untuk komunikasi sulit, untuk makanpun apalagi, dengan penghasilan yang minim di negri bule, memaksa beliau bekerja keras mencurahkan segala pengetahuannya.

Selama menyebarkan Silat di negri bule, Pak Herman di bantu oleh adik sekaligus rekannya, yakni Kang Herlanbang Suwanda atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bambang Suwanda.

Berdua beliau merantau di negri asing, menyambung hidup dengan cara mengajar Pencak Silat Sunda.

Sayangnya, pada tahun 2000 Pak Herman wafat bersama istri dan muridnya dalam kecelakaan kendaraan di Jerman. Semenjak nama Mande Muda memudar karena kehilangan figur sentralnya.

Namun, beberapa murid senior Pak Herman terus mencari Kang Bambang Suwanda yang sudah dianggap sebagai "The third grandmaster of Mande Muda". Dari Amerika mereka mencari waktu luang 1-2 minggu hanya untuk berlatih Silat bersama Kang Bambang di Indonesia.

Yah, dengan banyaknya murid-muridnya yang bule, dan dengan seringnya beliau ke luar negri kita mengira keidupan ekonomi beliau sangat luar biasa kaya. Namun faktanya tidaklah demikian.

Beliau tinggal di samping sebuah situ (Danau) bernama Sipatahunan di Bale Endah Bandung. Dengan 8 orang anak yang masih kecil-kecil dan harus dibiayai, beliau tinggal berjubel di sebuah rumah yang sangat jauh dikatakan untuk layak ditinggali.

Bayangkan, bagi seorang "living legend" tinggal di rumah yang toiletnya saja sudah rusak 3 tahun dan tidak ada biaya untuk memperbaikinya. Jika sedang "kebelet" terpaksa menimba air sumur yang jaraknya 50 meter dari rumahnya, lalu ke toilet umum yang lokasinya naik ke atas gunung berjarak kurang lebih 20 meter.

Begitu pula dengan perabotan rumah, tidak ada kursi atau meja. Jika ada tamu datang beliau mengamparkan tikar dan memberi suguhan air putih seadanya.

Penghasilan beliau hanya didapat dari Silat, yang tentunya sangat minim untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun demikian beliau selalu mensyukurinya, sebab selalu ada jalan untuk mendapatkan rezeki.

Berawal perkenalannya dengan seorang Kaskuser melalui media Facebook yang kemudian menjadi muridnya. Perlahan kehidupan kang Bambang mulai membaik. Banyak pecinta Silat Tradisional Indonesia yang mulai tertarik belajar kepada kang Bambang.

Belum lagi ditambah dengan undangan untuk mengajar ke luar negri yang semakin banyak, tapi ironisnya oknum-oknum di organisai resmi pemerintahan tidak bersedia membantu sepeser pun untuk sekedar memberikan "ongkos" jalan, Padahal beliau melakukan itu untuk nama Indonesia juga, agar budaya Indonesia khususnya Silat semakin dikenal dan alasannya pun macam-macam.

Sudah saatnya para oknum keparat pejabat pemerintahan di negriku yang tercinta ini memperhatikan anak bangsanya serta budayanya, jangan hanya bisa berkoar seperti burung beo.