Jumat, 25 Februari 2011

Prophet Muhammad’s promise to Christians

Dr. Muqtedar Khan

Muslims and Christians together constitute over fifty percent of the world and if they lived in peace, we will be half way to world peace. One small step that we can take towards fostering Muslim-Christian harmony is to tell and retell positive stories and abstain from mutual demonization.

In this article I propose to remind both Muslims and Christians about a promise that Prophet Muhammed (pbuh) made to Christians. The knowledge of this promise can have enormous impact on Muslim conduct towards Christians. Muslims generally respect the precedent of their Prophet and try to practice it in their lives.

In 628 AD, a delegation from St. Catherine’s Monastery came to Prophet Muhammed and requested his protection. He responded by granting them a charter of rights, which I reproduce below in its entirety. St. Catherine’s Monastery is located at the foot of Mt. Sinai and is the world’s oldest monastery. It possesses a huge collection of Christian manuscripts, second only to the Vatican, and is a world heritage site. It also boasts the oldest collection of Christian icons. It is a treasure house of Christian history that has remained safe for 1400 years under Muslim protection.

The Promise to St. Catherine:

"This is a message from Muhammad ibn Abdullah, as a covenant to those who adopt Christianity, near and far, we are with them.

Verily I, the servants, the helpers, and my followers defend them, because Christians are my citizens; and by God! I hold out against anything that displeases them.

No compulsion is to be on them. Neither are their judges to be removed from their jobs nor their monks from their monasteries. No one is to destroy a house of their religion, to damage it, or to carry anything from it to the Muslims' houses.

Should anyone take any of these, he would spoil God's covenant and disobey His Prophet. Verily, they are my allies and have my secure charter against all that they hate.

No one is to force them to travel or to oblige them to fight. The Muslims are to fight for them. If a female Christian is married to a Muslim, it is not to take place without her approval. She is not to be prevented from visiting her church to pray. Their churches are to be respected. They are neither to be prevented from repairing them nor the sacredness of their covenants.

No one of the nation (Muslims) is to disobey the covenant till the Last Day (end of the world).
"

The first and the final sentence of the charter are critical. They make the promise eternal and universal. Muhammed asserts that Muslims are with Christians near and far straight away rejecting any future attempts to limit the promise to St. Catherine alone. By ordering Muslims to obey it until the Day of Judgment the charter again undermines any future attempts to revoke the privileges. These rights are inalienable. Muhammed declared Christians, all of them, as his allies and he equated ill treatment of Christians with violating God’s covenant.

A remarkable aspect of the charter is that it imposes no conditions on Christians for enjoying its privileges. It is enough that they are Christians. They are not required to alter their beliefs, they do not have to make any payments and they do not have any obligations. This is a charter of rights without any duties!

The document is not a modern human rights treaty but even though it was penned in 628 A.D., it clearly protects the right to property, freedom of religion, freedom of work, and security of the person.

I know most readers, must be thinking so what? Well the answer is simple. Those who seek to foster discord among Muslims and Christians focus on issues that divide and emphasize areas of conflict. But when resources such as Muhammad’s promise to Christians are invoked and highlighted it builds bridges. It inspires Muslims to rise above communal intolerance and engenders good will in Christians who might be nursing fear of Islam or Muslims.

When I look at Islamic sources, I find in them unprecedented examples of religious tolerance and inclusiveness. They make me want to become a better person. I think the capacity to seek good and do good inheres in all of us. When we subdue this predisposition towards the good, we deny our fundamental humanity. In this holiday season, I hope all of us can find time to look for something positive and worthy of appreciation in the values, cultures and histories of other peoples.

-- Dr. Muqtedar Khan is Director of Islamic Studies at the University of Delaware and a fellow of the Institute for Social Policy and Understanding.

SIFAT-SIFAT ALLAH

Menurut keyakinan Syi'ah, sifat-sifat Allah bisa dimasukkan ke dalam dua kelompok yang berbeda.

Pertama, sifat-sifat yang mewakili Diri-Nya (sifat Zat)

Ke dua
, sifat-sifat yang melambangkan perbuatan-pebuatan-Nya (sifat perbuatan).

Syekh Shaduq berkata :

"Umpamanya kita katakan bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berilmu, Maha Bijaksana, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Maha Satu dan Abadi. Dan ini merupakan kualitas-kulaitas pribadi-Nya. Dan kita tidak mengatakan bahwa Dia sejak dulu menciptakan, melakukan, berniat, puas, tidak puas, memberi rizki, berfirman, karena kualitas-kualitas ini melukiskan pebuatan-Nya, dan mereka itu tidaklah abadi, tidak perlulah mengatakan bahwa Allah melakukan perbuatan-perbuatan ini sejak azali.

Alasan perbedaan ini adalah jelas. Perbuatan-perbuatan membutuhkan suatu obyek. Misalnya, bila kita katakan bahwa Allah memberi rizki sejak awal, maka kita harus mengakui eksistensi obyek yang diberi rizki sejak awal. Dalam madah lain, kita harus mengakui bahwa dunia itu ada sejak azali (sebagaimana Tuhan-pen.). Padahal itu semua bertolak belakang dengan keyakinan bahwa tidak ada sesuatu pun selain Tuhan Yang Abadi." (al-i'taqadat al-imamiyyah oleh Syekh Shaduq. Dengan kata lain, sifat zat berkenaan dengan Diri-Nya sehingga 'ada sejak awal', sementara sifat Perbuatan Tuhan ada ketika dihubungkan dengan obyek (mahluk). Seperti Maha Pemberi Rizki baru ada ketika dikaitkan dengan perbuatan Tuhan yang memberi rizki kepada segenap mahluk-Nya (-penerjemah))

Nyatalah bahwa para ulama sunni tidak memiliki pandangan bening ihwal perbedaan ini sehingga mereka mengatakan bahwa semua sifat-sifat-Nya itu abadi. Inilah alasan sesungguhnya dari keyakinan mereka bahwa Quran sebagai kalam (firman) Allah, adalah abadi dan tidak tercipta (mahluk). Karena mereka mengatakan bahwa Dia mutakallim (berbicara) sejak azali.

Golongan Hanbaliyyah (dinisbatkan kepada imam Ahmad bin Hanbal ra) sedemikian jauh mengatakan, "Bukan saja kata-kata dan makna-makna dari Quran itu abadi, sehingga bacaannya sekalipun tidak tercipta, namun kertas dan jilidnya pun memiliki kualitas-kualitas yang sama."

Dalam naskah imam Abu Hanifah ra suatu pandangan yang lebih moderat di ungkapkan, "Kita mengetahui bahwa Quran adalah kalam Allah, tidak tercipta, ilham-Nya, dan wahyu, bukan Dia, melainkan kualitas-Nya, tertulis dalam salinan-salinan, diucapkan dengan lidah. (Sementara) tinta, kertas, tulisannya adalah diciptakan (mahluk), karena mereka adalah karaya manusia." (revelation and reason in islam oleh A.J Arberry, hal 26-27)

Akan tetapi karena Syi'ah membedakan antara kualitas-kualitas personnya dan perbuatan-perbuatan-Nya, mereka mengatakan, "Keyakinan kami tentang Quran adalah bahwa ia merupakan ucapan Tuhan, dan wahyu-Nya dikirimkan oleh-Nya, dan firman-Nya dan kitab-Nya...Dan bahwa Allah adalah Penciptanya, Pengirimnya, Penjaganya..." (al-i'taqadat al imamiyyah)

Di antara golongan sunni, etlah terjadi perdebatan hebat ihwal topik ini, antara golongan mu'tazilah dan asy'ariyyah. Disini hal tersebut tidak perlu di paparkan lagi.

Sebagian mengklaim bahwa segala sesuatu yang diciptakan mempunyai kekurangan dalamnya dan karena itu Quran pastilah abadi karena ia tanpa kekuarangan. Argumen tersebut tidak berdasar karena kita umat muslimin percaya bahwa para malaikat, sekalipun diciptakan adalah suci dari kekurangan.

Jika tidak, bagaimana kita bisa mempercayai Jibril as ketika ia membawa Quran kepada Nabi Saw? Bagaimana bis anda mempercayai Nabi sendiri? Apakah Allah tidak mampu menciptakan sesuatu yang suci? Karena itu, kita percaya bahwa Quran juga semua benda lainnya di alam semseta adalah diciptakan. Tidak ada sesuatu pun yang abadi kecuali Allah.

Ada sebuah hadis dari Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa, "(zaman ketika) Allah ada, dan tidak ada sesuatu pun selain Dia."

GAMBARAN TUHAN MENURUT SYI'AH DAN SUNNI

Terdapat banyak hadis dalam shahih bukhari yang menggambarkan bahwa Allah memiliki sebuah tanda pada kaki-Nya, dan Dia meletakkan kaki-Nya ke dalam neraka dan seterusnya. Misalnya, dalam shahih bukhari versi arab-inggris, hadis no 9532 didalamnya menggambarkan Allah mempunyai sebuah tanda di betis-Nya, dan ketika Dia menyingkapkan betis-Nya manusia akan mengenali-Nya. Atau dalam jilid yang sama lihat hadis no 9604 dan 9510 dimana dikatakan bahwa Allah mempunyai jari jemari! Silahkan lihat juga artikel-artikel yang terkait yang diberikan oleh Kamran yang dirujuk oleh shahih bukhari dan shahih muslim.

Bagi sebagian pengikut Ibnu Taymiah (saya katakan sebagian pengikutnya bukan keseluruhan pengikutnya) membenarkan bahwa organ-organ tubuh Allah merupakan entitas fisik dan Allah duduk di singgasana. Akan tetapi, bagi pengikut Abu Hasan Asy'ari (Pengikut aliran Asy'ariyyah) yang meliputi sejumlah besar sunni, tidak menafsirkan wajah, tangan, dan kaki-Nya sebagai organ-organ fisik, tetapi mereka mengatakan "kita tidak tahu bagaimana (bi la kaif)".

Sedangkan Syi'ah 12 imam meyakini dengan kuat bahwa Allah tidak memiliki tubuh, wajah, tangan, jari jemari, ataupun kaki. Syekh Shaduq, salah seorang ulama Syi'ah terkemuka, dalam kitabnya al-I'tiqadat al-Imamiyyah (kredo Syi'ah) mengatakan :

"Sesungguhnya Allah itu Maha Satu, Maha Unik, tidak sesuatupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Abadi, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berilmu, Maha Hidup, Maha Kuasa, jauh dari segala kebutuhan. Dia tidak bisa digambarkan dalam kerangka sebistansi, tubuh, bentuk, aksiden, garis, permukaan, berat, ringan, warna, gerakan, istirahat, waktu, ataupun ruang. Dia diatas segala gambaran yang bisa diterapkan kepada mahluk-mahluk-Nya. Dia jauh dari dua kutub. Dia tidak sekedar non entitas (sebagaimana golongan ateis dan dalam tingkatan yang lebih rendah, Mu'tazilah lakukan) ataupun Dia sama seperti benda-benda lainnya. Dia Maujud, tidak seperti benda-benda yang ada lainnya."

Memang dalama Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan tentang bagian tubuh Allah. Namun, bagi penafsiran para imam Syi'ah, kata- kata dalam ayat tersebut digunakan dalam makna metaforis dan simbolis, bukan makna literal.

Umpamanya ayat 88 surat al-Qashash yang berbunyi "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya", maksud ayat itu adalah "kecuali Diri-Nya". Sesungguhnya sebagian ulama sunni sekalipun tidak bisa mengatakan bahwa hanya wajah Allah yang akan abadi, sementara apa yang dinamakan anggota-anggota tubuh lainnya (baik fisik maupun bukan) akan binasa!

Demikian pula Allah telah menggunakan kata "tangan" (Yad) di beberapa tempat dalam al-Qur'an. Namun itu artinya adalah "kekuasaan dan rahmat-Nya", sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 54, yang berbunyi "...tetapi kedua tangan Allah terbuka."

Sebagaimana dalam Quran dan hadis Nabawi, makna-makna metaforis seperti itu banyak digunakan. Misalnya, Allah menggambarkan para Nabi-Nya sebagai ulil aydi wal abshar (yang mempunyai perbuatan-perbuatan besar dan ilmu-ilmu yang tinggi; QS Shad : 45)

Bahkan semua ulama sunni setuju bahwa kata "tangan" (aydi) di sini artinya kekuasaan dan kekuatan. Saya harus menyebutkan bahwa pendapat Syi'ah 12 imam juga berbeda dengan pendapat golongan mu'tazilah yang membawa Tuhan kepada batasan-batasan nirwujud (non-existence).

BISAKAH ALLAH DILIHAT?

Sebagai dampak langsung dari perbedaan yang disebutkan di atas, sebagian dari ulama sunni percaya bahwa Allah SWT bisa dilihat. Sebagian dari mereka, seperti Imam Ahmad bin Hanbal ra, mengatakan bahwa Dia bisa dilihat di dunia dan di akherat kelak. Yang lain mengatakan bahwa Dia hanya bisa di lihat di akherat. (Shahih bukhari, versi arab-inggris, hadis 9530-9532 yang secara jelas menyatakan bahwa Tuhan bisa dilihat dan Tuhan mengubah penampilan-Nya agar dikenali oleh manusia)

Di sisi lain, Syi'ah imamiah berpendapat bahwa Dia tidak bisa dilihat secara fisik baik di dunia maupaun di akherat, karena Dia tidak memiliki tubuh berdasarkan firman-Nya "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata." (QS al-An'Am : 103)

Para ulama sunni menggunakan ayat berikut sebagai hujat mereka, "wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu (hari pengadilan) tampak segar berseri, kepada Tuhannya lah mereka memandang"(QS al-Qiyamah : 22-23)

Akan tetapi, dalam bahasa arab, kata nazhar (memandang) tidak berarti 'melihat'. Acap dikatakan bahwa nazhartu ilal hilal falam arahu, yang artinya "saya memandang bulan baru (sabit) namun saya tidak melihatnya". Karena itu, ayat tersebut tidak berarti mereka akan melihat Allah. Menurut penafsian Syi'ah, ayat itu artinya mereka akan menanti-nanti rahmat Allah.